| hitaM Putih |

hanya beberapa catatan...

Tuesday, October 31, 2006

U n u m


Kenapa bukan dua atau tiga. Kenapa mesti satu?. Pertanyaan itu mengusik istirahat siang teman saya, satu siang di Jogja. Dia sedikit gusar. Menurut dia, satu bukan pilihan yang baik. Dia, -teman saya ini- adalah bagian dari sebuah kelompok marjinal di kota. Kelompok minoritas. Dia merasa, jika menjadi satu akhirnya menyempitkan makna universalitas satu bangsa dalam peradaban dunia. Bagi dia - yang datang jauh dari Papua - menjadi satu hanya berarti bagi kelompok mayoritas, dan kelompok minoritas adalah hal yang lain.

***

Ada yang lain merasa menjadi satu adalah keharusan. Dan satu menjadi slogan, doktrin, bahkan dogma. Bagi mereka yang merasa harus menjadikan semua satu, satu bisa menggambarkan kekuatan, spirit dan kesamaan yang terkadang totaliter, yang berarti harus menolak perbedaan. Tak boleh ada yang beda. Semua harus satu. Akhirnya satu itu sendiri absurd. Dan sadar atau tidak, absurditas ke-satu-an itu makin jelas ketika satu itu dipaksakan.

Kita selalu bisa belajar dari sejarah kotor manusia. Mulai dari jaman Babel, sampai sekarang. Ketika satu itu dipaksakan dan ada yang merasa kesatuannya itu paling benar (baca: absolut), maka perbedaan akan ditolak sama sekali. Imperial Roma mencoba menyatukan semua bangsa jajahannya dalam satu dogma kekaisaran yang totaliter dan hampir berhasil, namun runtuh. Juga karena ke satu an itu sendiri. Nazi dengan perjuangan mengangkat derajat bangsa Arya dalam sebauh kesatuan, rela membunuh jutaan manusia Yahudi yang tak bisa satu dengan mereka. Dan sejarah pun berjalan terus.

Semua harus satu dan menjadi satu saja itu dianggap adalah doktrin yang paling benar, orang rela dengan bom ditubuh mereka atau didalam mobil dan membunuh sesamanya, yang dianggap beda. Bukan dari ke satu an mereka. Dan satu menjadi spirit bagi semacam mesin pembunuh. Siap membunuh siapa saja yang tak dianggap satu. Mungkin kita harus jeli melihat satu itu sendiri, seperti teman saya siang itu.

Menurut teman saya ini; satu bukanlah soal berapa jenis. Satu adalah soal ikatan. Ikatan yang mau melihat perbedaan sebagai perbedaan, bukan sesuatu yang harus disamakan atau dipaksakan. Sebuah ikatan yang mengikat sebagai sebuah kesatuan yang universal melebihi batas suku, bangsa, agama dan keberadaan manusia dalam semua dimensi. Atau kita akan melihat ke satu an itu bakal menghancurkan. Karena kita tak pernah bisa menolak apa yang disebut sebagai : perbedaan.

Sebagai satu yang universal, kita akan bisa merasa ketika ada cucu Adam yang lain, di tempat yang lain, bahkan di benua yang berbeda di injak-injak harkat kemanusiaannya. Dan kita gusar dan mau berontak. Bukan karena marah saja, tapi karena ikatan ke satu an itu. Atau dalam kasus yang lain. Mungkin tidak dengan cerita sedih cucu Adam yang lain, tapi gejolak gembira. Dan kita juga bersorak. Sekali lagi karena ikatan satu itu menembus batas peradaban.

***

Satu seharusnya bisa menerima perbedaan apapun, karena makna kesatuan-nya itu sendiri. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Pelangi indah bukan hanya karena fenomena itu melengkung menghias horison. Pelangi juga indah karena dia terdiri dari banyak warna. Pernahkah kita membayangkan pelangi dengan satu warna saja melengkung?

Tulisan ini saya dedikasikan kepada rekan-rekan GMKI yang akan melaksanakan Kongres XXX mereka di Kupang, 05 - 12 November 2006

Sunday, October 22, 2006

Selamat Merayakan Idul Fitri, 1427 H


Rekan-rekan ..,
Semoga kemenangan ini menjadi inspirasi bagi perjuangan berikutnya..




Salam

Danny W,
atas nama semua rekan-rekan di Komunitas Akar Rumput Kupang

Happy Birthday to Me (Reload)

Happy birthday to me, happy birthday to me, happy birthday dear Danny!, Happppy birth..day to me..e

***

AKU sudah beberapa kali menikmati ulang tahun di jalan. Di pantai sudah. Di bawah tebing pernah. Di rumah sendirian sering. Di gunung juga. Aku suka ULTAH di jalan. Soalnya ULTAH di jalan itu unik, dan mengasyikkan.
Tapi tidak kali ini.

Kali ini terpaksa ULTAH ku dirayain di Hotel!!! :-(. Tempat yang nggak pernah aku suka untuk tinggal, apa lagi buat ULTAH.Tapi mau bilang apa, here I am. Hotel itu Benggoan namanya, di tengah kota Maumere yang panas, semrawut dan ribut. Tak ada tempat untuk menyendiri, seperti ultah-ultahku sebelumnya. Tak ada pantai, Tak ada bulan, tak bisa sendirian liat bintang.Tak pernah ada rencana untuk nginap di Hotel. Tapi orang yang aku percaya bisa menolong dengan jabatannya itu, ternyata lebih memilih me-nginap-kan aku dan si Alien di hotel, daripada memberikan sedikit tempat di rumahnya buat dua orang kumal ini untuk tidur. Padahal ongkos pulang kita saja masih tanda tanya. Cukup atau tidak. Rencana untuk merayakan ultah besok malam di PANTAI, dekat pelabuhan; batal, karena harus check out besok. Harus segera pindah, nyari alamat temen lama ku.
Paginya, pas ULTAH. aku bangun duluan dari si Alien, teman seperjalanan. Matahari panas, tak hangat seperti yang aku rasa setiap ULTAH. Udara kota Maumere bakal bikin sesak dada, tak seperti udara ULTAH ku. Untung masih pagi, pertokoan di depan hotel belum penuh dengan orang. Blum terdengar bising seliweran ojek, angkot dan kendaraan lain yang bikin pusing. Its my birthday, I want to enjoy it!. Aku memilih mandi dan siap-siap ke Ledalero. Pas lagi duduk-duduk di Lobi, si Alien ngasih aku hadiah ULTAH!, roti lonjong yang masih terbungkus plastik, dibelinya tadi malam. Satu batang korek api; pengganti lilin, ditusuk di bagian tengah roti. Okke!, jumlah umurku bukan satu! Itu yang paling aku ingat di ULTAH ku kali ini.

***

Aku baru saja mengeraskan seat belt, ketika suara berat pilot F-27 Merpati dari spiker memberitahukan kalau sebentar lagi pesawat ini bakal take off. Finally! setelah lima hari sejak ultah yang tak menyenangkan itu. Aku masih tak ingin ULTAH ku tahun ini lewat datar-datar saja. Ini masih di jalan, Dan. Masih belum di Kupang, ayo! make a wish!.

Aku lalu cepat-cepat mencabut earphone dari kuping, menyisakan Bryan Adams yang lagi teriak: I am coming, back to You!. Happy birthday to me, happy birthday to me..happy birthday dear Danny.. Happy birthday to me!. Siulan kecil ku samar-samar dikalahkan deru mesin dan baling-baling pesawat yang mulai berputar cepat. Aku merasa lega!, dan udara terasa hangat.

Wednesday, October 04, 2006

Batas* (Reload)

Catatan perjalanan ke perbatasan Haumeniana-Pasabe, (R.I - Timor Leste)

***

DARI waktu ke waktu manusia selalu mengubahnya, sering setelah membunuh dan menginjak-injak. Sering dengan memberontak dan membuat proklamasi - seperti yang kita lakukan 51 tahun lalu.
Lalu tapal batas perbatasan pun didirikan. Bendera dinaikan. Petugas berseragam militer dan papan imigrasi di pasang di pintu masuk. Seorang cucu Adam dan wilayah sini harus punya izin khusus untuk menemui cucu Adam dari wilayah sana - meskipun jaraknya tidak sampai satu kilometer.

***

Dua penggal bait tulisan budayawan Indonesia, Goenawan Mohamad dalam bukunya 'Catatan Pinggir 4' seperti tertanam di kepala, ketika mengingat saat saya tiba di batas Haumeniana-Pasabe. Salah satu batas antara Indonesia dan daerah enclave (Daerah kantung dan berdaulat, dari sebuah negara yang berada di wilayah negara lain) yang sekarang sudah menjadi milik Timor Leste negara bekas JAJAHAN Indonesia itu. Repotlah para pembuat peta, karena harus mencetak lagi peta baru, dengan garis merah tebal dan dengan gars hitam tipis putus - putus diantara perbatasan Kefamenanu dan Oecusse.

Dari cerita masyarakat Dawan (masyarakat asli yang menempati daerah Kefamenanu, Indonesia sampai ke 0ecusse, Timor leste) sekarang mereka tidak bisa sebebas dulu mengunjungi keluarga mereka yang tinggal di Oecusse. Karena sudah banyak tentara di sana, banyak larangan yang fatal kalau dilanggar. Kalaupun ingin melewati batas itu, banyak urusannya. Oleh-oleh untuk keluarga yang dibeli dari pasar tradisional di hari sabtu setiap minggu, di zona Netral antara dua pos jaga itu pun dibatasi. Ada kertas pengumuman dituiis besar-besar dengan spidol merah dan hitam dan ditempel di dinding Pos jaga TNI: Beras maksimal 5 kg, Rokok maksimal 10 bungkus, Minyak tanah maksimal 2 liter, dan seterusnya. Di bagian ujung kertas pengumtnan itu ditulis : BAWA LEBIH DISITA!, masih dengan spidolmerah-hitam. Bedanya, yang ini ukuran hurufnya paling besar. Sebuah ironi bagi sejarah sebuah masyarakat yang sudah sekian lama hidup bersama, bahkan jauh sebelum pos-pos itu ada.

Masyarakat Kefamenanu, Indonesia dan masyarakat daerah Pasabe, Timor Leste telah hidup dengan interaksi sejak lama, jauh sebelum nama Indonesia dan Timor Leste itu ada. Kedekatan budaya dari mulai bahasa, adat istiadat, corak pakaian, konstruksi rumah dan ikatan kekeluargaan antara kedua komunitas yang berasal dari satu rumpun, mampu mengatasi batas-batas itu.
Tidak juga orang-orang berseragam itu. Rasa satu itu tetap ada. Melewati batas-batas peta. Walaupun dijaga dengan senapan dan teropong, setiap hari mereka masih dapat mengunjungi keluarga atau berbelanja, lewat jalan-jalan tikus atau lewat pos jaga. Karena tak ada batas bagi sebuah ikatan kekeluargaan. Orang-orang berseragam itu terkadang mengerti. Kadang-kadang tidak.

Tak aneh lah, jika rupiah juga masih bisa kita pakai berbelanja di Pasar Pasabe. Setiap hari, tetap banyak cucu-cucu Adam dan Hawa dari kedua wilayah saling bertemu, di pasar, di jalan, di sekolah atau di manapun mereka mau. Tanpa digubris persoalan batas-batas itu.

Di Abani, Pasabe, banyak keluarga yang mengaku kalau masih banyak dari sanak mereka yang berada di Kefamenanu, sejak rusuh tahun 99. Uniknya mereka tidak resah, apalagi kebingungan. Mereka yakin bahwa Kefamenanu juga adalah rumah mereka, tanah air mereka juga. Tanah air yang benar-benar tanah air. Bukan tanah air hasil proklamasi, sebuah pemberontakan atau pemberian PBB. Tanah air dengan batas yang abstrak.
Seandainya Tuhan merestui peta Bumi, perubahan semacam itu - yang sering terjadi dalam sejarah kita- tak akan mungkin bisa terjadi. Yang menakjubkan adalah ada saat dimana kita bisa merubah peta, mengacak
acaknya. Tapi ada saat juga kita bersedia menjaga batas-batas peta itu, menciumnya, bahkan rela mati demi batas-batas itu. Sepertinya peta itu benda sakti. Di Indonesia kita bernyanyi dengan mata basah dan bulu tubuh berdiri, Padamu Negeri, jiwa raga kami. Di Pasabe, Timor Leste, anak-anak sekolah dengan tegas bernyanyi berteriak: Patria.. Patria..! **, dan Ma Olif Tataf*** dari Kefa dan Pasabe juga akan selalu duduk bernyanyi: Lais-manekat lo mas leüf****

*tulisan ini pernah saya muat di blog saya sebelumnya..
** Patria - Patria : Lagu kebangsaan Timor Leste.
*** Ma Olif Tataf : Bahasa Dawan, yang artinya kakak beradik, keluarga
**** Lais Maneka Lomas Le'uf : Lagu Tradisional berbahasa Dawan, arti judulnya adalah:
cinta-kasih memang sangat indah