| hitaM Putih |

hanya beberapa catatan...

Wednesday, October 04, 2006

Batas* (Reload)

Catatan perjalanan ke perbatasan Haumeniana-Pasabe, (R.I - Timor Leste)

***

DARI waktu ke waktu manusia selalu mengubahnya, sering setelah membunuh dan menginjak-injak. Sering dengan memberontak dan membuat proklamasi - seperti yang kita lakukan 51 tahun lalu.
Lalu tapal batas perbatasan pun didirikan. Bendera dinaikan. Petugas berseragam militer dan papan imigrasi di pasang di pintu masuk. Seorang cucu Adam dan wilayah sini harus punya izin khusus untuk menemui cucu Adam dari wilayah sana - meskipun jaraknya tidak sampai satu kilometer.

***

Dua penggal bait tulisan budayawan Indonesia, Goenawan Mohamad dalam bukunya 'Catatan Pinggir 4' seperti tertanam di kepala, ketika mengingat saat saya tiba di batas Haumeniana-Pasabe. Salah satu batas antara Indonesia dan daerah enclave (Daerah kantung dan berdaulat, dari sebuah negara yang berada di wilayah negara lain) yang sekarang sudah menjadi milik Timor Leste negara bekas JAJAHAN Indonesia itu. Repotlah para pembuat peta, karena harus mencetak lagi peta baru, dengan garis merah tebal dan dengan gars hitam tipis putus - putus diantara perbatasan Kefamenanu dan Oecusse.

Dari cerita masyarakat Dawan (masyarakat asli yang menempati daerah Kefamenanu, Indonesia sampai ke 0ecusse, Timor leste) sekarang mereka tidak bisa sebebas dulu mengunjungi keluarga mereka yang tinggal di Oecusse. Karena sudah banyak tentara di sana, banyak larangan yang fatal kalau dilanggar. Kalaupun ingin melewati batas itu, banyak urusannya. Oleh-oleh untuk keluarga yang dibeli dari pasar tradisional di hari sabtu setiap minggu, di zona Netral antara dua pos jaga itu pun dibatasi. Ada kertas pengumuman dituiis besar-besar dengan spidol merah dan hitam dan ditempel di dinding Pos jaga TNI: Beras maksimal 5 kg, Rokok maksimal 10 bungkus, Minyak tanah maksimal 2 liter, dan seterusnya. Di bagian ujung kertas pengumtnan itu ditulis : BAWA LEBIH DISITA!, masih dengan spidolmerah-hitam. Bedanya, yang ini ukuran hurufnya paling besar. Sebuah ironi bagi sejarah sebuah masyarakat yang sudah sekian lama hidup bersama, bahkan jauh sebelum pos-pos itu ada.

Masyarakat Kefamenanu, Indonesia dan masyarakat daerah Pasabe, Timor Leste telah hidup dengan interaksi sejak lama, jauh sebelum nama Indonesia dan Timor Leste itu ada. Kedekatan budaya dari mulai bahasa, adat istiadat, corak pakaian, konstruksi rumah dan ikatan kekeluargaan antara kedua komunitas yang berasal dari satu rumpun, mampu mengatasi batas-batas itu.
Tidak juga orang-orang berseragam itu. Rasa satu itu tetap ada. Melewati batas-batas peta. Walaupun dijaga dengan senapan dan teropong, setiap hari mereka masih dapat mengunjungi keluarga atau berbelanja, lewat jalan-jalan tikus atau lewat pos jaga. Karena tak ada batas bagi sebuah ikatan kekeluargaan. Orang-orang berseragam itu terkadang mengerti. Kadang-kadang tidak.

Tak aneh lah, jika rupiah juga masih bisa kita pakai berbelanja di Pasar Pasabe. Setiap hari, tetap banyak cucu-cucu Adam dan Hawa dari kedua wilayah saling bertemu, di pasar, di jalan, di sekolah atau di manapun mereka mau. Tanpa digubris persoalan batas-batas itu.

Di Abani, Pasabe, banyak keluarga yang mengaku kalau masih banyak dari sanak mereka yang berada di Kefamenanu, sejak rusuh tahun 99. Uniknya mereka tidak resah, apalagi kebingungan. Mereka yakin bahwa Kefamenanu juga adalah rumah mereka, tanah air mereka juga. Tanah air yang benar-benar tanah air. Bukan tanah air hasil proklamasi, sebuah pemberontakan atau pemberian PBB. Tanah air dengan batas yang abstrak.
Seandainya Tuhan merestui peta Bumi, perubahan semacam itu - yang sering terjadi dalam sejarah kita- tak akan mungkin bisa terjadi. Yang menakjubkan adalah ada saat dimana kita bisa merubah peta, mengacak
acaknya. Tapi ada saat juga kita bersedia menjaga batas-batas peta itu, menciumnya, bahkan rela mati demi batas-batas itu. Sepertinya peta itu benda sakti. Di Indonesia kita bernyanyi dengan mata basah dan bulu tubuh berdiri, Padamu Negeri, jiwa raga kami. Di Pasabe, Timor Leste, anak-anak sekolah dengan tegas bernyanyi berteriak: Patria.. Patria..! **, dan Ma Olif Tataf*** dari Kefa dan Pasabe juga akan selalu duduk bernyanyi: Lais-manekat lo mas leüf****

*tulisan ini pernah saya muat di blog saya sebelumnya..
** Patria - Patria : Lagu kebangsaan Timor Leste.
*** Ma Olif Tataf : Bahasa Dawan, yang artinya kakak beradik, keluarga
**** Lais Maneka Lomas Le'uf : Lagu Tradisional berbahasa Dawan, arti judulnya adalah:
cinta-kasih memang sangat indah

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Mas, Timor Leste adalah tetap Timor Leste dan dari sananya bukan bagian dari RI, RI-lah yang cai penyakit masuk ke Timor Leste di tahun 1975, akibatnya citra Indonesia bukurk di mata dunia, dan RI juga mengorbangkan segalanya di bumi Lorosae, makanya ini pelajaran buat orang suka masuk ke rumah orang tanpa punya rasa malu..paham...!!!

Viva Timor Leste, Basmi mereka yang menentang kamu....

God Bless Timor Leste.

10:43 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home