U n u m
Kenapa bukan dua atau tiga. Kenapa mesti satu?. Pertanyaan itu mengusik istirahat siang teman saya, satu siang di Jogja. Dia sedikit gusar. Menurut dia, satu bukan pilihan yang baik. Dia, -teman saya ini- adalah bagian dari sebuah kelompok marjinal di kota. Kelompok minoritas. Dia merasa, jika menjadi satu akhirnya menyempitkan makna universalitas satu bangsa dalam peradaban dunia. Bagi dia - yang datang jauh dari Papua - menjadi satu hanya berarti bagi kelompok mayoritas, dan kelompok minoritas adalah hal yang lain.
***
Ada yang lain merasa menjadi satu adalah keharusan. Dan satu menjadi slogan, doktrin, bahkan dogma. Bagi mereka yang merasa harus menjadikan semua satu, satu bisa menggambarkan kekuatan, spirit dan kesamaan yang terkadang totaliter, yang berarti harus menolak perbedaan. Tak boleh ada yang beda. Semua harus satu. Akhirnya satu itu sendiri absurd. Dan sadar atau tidak, absurditas ke-satu-an itu makin jelas ketika satu itu dipaksakan.
Kita selalu bisa belajar dari sejarah kotor manusia. Mulai dari jaman Babel, sampai sekarang. Ketika satu itu dipaksakan dan ada yang merasa kesatuannya itu paling benar (baca: absolut), maka perbedaan akan ditolak sama sekali. Imperial Roma mencoba menyatukan semua bangsa jajahannya dalam satu dogma kekaisaran yang totaliter dan hampir berhasil, namun runtuh. Juga karena ke satu an itu sendiri. Nazi dengan perjuangan mengangkat derajat bangsa Arya dalam sebauh kesatuan, rela membunuh jutaan manusia Yahudi yang tak bisa satu dengan mereka. Dan sejarah pun berjalan terus.
Semua harus satu dan menjadi satu saja itu dianggap adalah doktrin yang paling benar, orang rela dengan bom ditubuh mereka atau didalam mobil dan membunuh sesamanya, yang dianggap beda. Bukan dari ke satu an mereka. Dan satu menjadi spirit bagi semacam mesin pembunuh. Siap membunuh siapa saja yang tak dianggap satu. Mungkin kita harus jeli melihat satu itu sendiri, seperti teman saya siang itu.
Menurut teman saya ini; satu bukanlah soal berapa jenis. Satu adalah soal ikatan. Ikatan yang mau melihat perbedaan sebagai perbedaan, bukan sesuatu yang harus disamakan atau dipaksakan. Sebuah ikatan yang mengikat sebagai sebuah kesatuan yang universal melebihi batas suku, bangsa, agama dan keberadaan manusia dalam semua dimensi. Atau kita akan melihat ke satu an itu bakal menghancurkan. Karena kita tak pernah bisa menolak apa yang disebut sebagai : perbedaan.
Sebagai satu yang universal, kita akan bisa merasa ketika ada cucu Adam yang lain, di tempat yang lain, bahkan di benua yang berbeda di injak-injak harkat kemanusiaannya. Dan kita gusar dan mau berontak. Bukan karena marah saja, tapi karena ikatan ke satu an itu. Atau dalam kasus yang lain. Mungkin tidak dengan cerita sedih cucu Adam yang lain, tapi gejolak gembira. Dan kita juga bersorak. Sekali lagi karena ikatan satu itu menembus batas peradaban.
***
Satu seharusnya bisa menerima perbedaan apapun, karena makna kesatuan-nya itu sendiri. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Pelangi indah bukan hanya karena fenomena itu melengkung menghias horison. Pelangi juga indah karena dia terdiri dari banyak warna. Pernahkah kita membayangkan pelangi dengan satu warna saja melengkung?
Tulisan ini saya dedikasikan kepada rekan-rekan GMKI yang akan melaksanakan Kongres XXX mereka di Kupang, 05 - 12 November 2006
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home