| hitaM Putih |

hanya beberapa catatan...

Monday, August 14, 2006

Ma Lisa Juga Manusia

***
Kenapa sih Ma Lisa sakit hari ini. Kan repot!

***

Kertas bekas guntingan koran berserakan di lantai. Beberapa gelas bekas minum teman-teman masih tersebar di tiga meja kerja di kamar ini. Belum lagi lantai. Benteng nya Paul hari ini kotor sekali. Semua gara-gara Mama Lisa yang tanpa sepengetahuan Paul, mengambil cutinya seminggu. Itu juga berarti; urusan kertas berserakan, kopi, teh, gelas dan kamar kerja yang kotor tak ada yang mengurus. Kacau lah dunia!

Mama Lisa sudah bekerja disini sejak lama. Bahkan sejak Paul belum bekerja di kantor ini. Ibu 2 orang anak ini terkenal dengan kebaikan hati dan masakan untuk makan siangnya yang selalu membuat orang betah untuk makan siang di kantor, daripada harus pulang makan siang dirumah atau makan siang di tempat lain. Di tangan Mama Lisa, sayur kangkung yang biasa-biasa saja itu, bisa dirubah jadi lalapan yang sedapnya luar biasa!. Mama Lisa yang buat!

Begitu juga kopi. Paul dan teman-teman kantornya paling suka kopi racikan Mother Lisa; begitu sapaan Paul buat ibu di kantornya itu. Takaran kopi dan gulanya pas!. Mama Lisa yang buat!

Biasanya; kalau Paul ingin meminta kopi; dia tinggal melangkah keluar dari pintu kamar kerja-nya di lantai bawah dan berteriak, merayu : Mother Lisaaaaa!, dan ketika Mama Lisa keluar dari pintu dapur, di ruang atas kantornya, Paul tinggal mengerling mata kanan-nya. Mama Lisa sudah tau kode itu. Itu berarti kopi panas-harum-nan-nikmat -di mug Libra segera datang. Mama Lisa yang buat!

Pagi-pagi; ketika semua orang belum datang, Mama Lisa sudah. Ruang kerja Paul pasti sudah harum, dipel dan dibersihkan sebelum Paul masuk. Mama Lisa yang buat!

Mama Lisa juga bisa jadi teman curhat. Ibu asal pulau Sabu ini bersedia saja dipaksa turun ke kamarnya Paul dan didaulat untuk mendengar uneg-uneg Paul; tentang boss yang tengil, tentang kerjaan yang belum selesai, tentang teman sopir yang suka cari muka, tentang mana calon pacar yang baik, tentang bagaimana rasanya punya anak, dan segala macam yang membuat risau Paul dan teman-teman se geng. Mama Lisa jadi salah satu kawan diskusi monolog dengan Paul, karena Mama Lisa lebih banyak duduk bengong mendengar ocehan Paul, atau teman-teman lain. Mama Lisa tak mengerti. Mama Lisa cuma house keeper saja di kantor ini. Istilah keren dari pembantu.

***
Hari ini kopi panas-harum-nan-nikmat -di mug Libra baru datang ke kamar Paul satu kali. Tadi pagi. Siang ini tidak. Sore juga tidak. Paul memang maniak kopi Timor; yang meminumnya 3 kali sehari, seperti obat pilek saja!. Mama Lisa sakit dan sudah pulang sekitar jam 10 pagi. Kabarnya Mama Lisa ambil cuti, dan bukan main-main: satu minggu!.

Trus siapa yang bisa menyiapkan kopi panas-harum-nan-nikmat -di mug Libra untuk Paul di sisa hari ini? Ini laporan bulanan belum selesai, Paul butuh sugesti dengan kopi untuk membantu dia berpikir! Ini kamar sudah seperti kapal pecah habis di pakai rapat tim FS tadi!. Paul juga butuh teman untuk diskusi (maksudnya untuk mengeluarkan uneg-unegnya) tentang budget usulan-nya yang di revisi kemarin.

Akhrinya Paul menyerah. Dia dengan terpaksa naik ke ruang atas (ruangan yang paling dibenci karena aura suasana kantor atas yang menyeramkan!), menuju pantri, mengambil mug Libra-nya, kopi, gula dan air panas. Dia lupa takaran yang pernah dikasih Ma Lisa!.

***

Paul kembali ke bentengnya di lantai bawah; dengan sebuah mug berisi kopi dan sambil senyum-senyum. Dia teringat kemarin, dalam rapat staff, semua staff berdebat hebat tentang siapa staff yang akan dilanjutkan kontraknya setelah proyek sekarang berakhir, November nanti. Boss ngotot, wakil direktur juga. Teman-teman juga tak mau kalah, Paul juga. Semua merasa posisinya patut dipertahankan. Ini akan membuat budget proyek bengkak!. Harus ada yang berkorban. Tapi, Tak ada kata sepakat. Debat akan dilanjutkan besok.

Paul masih duduk di sofa dalam kamar kerjanya, sambil senyam-senyum meyakinkan. Dia sudah tahu siapa yang perlu dipertahankan untuk staffing proyek selanjutnya: Mama Lisa!.

Friday, August 11, 2006

Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis

oleh : Andreas Harsono

Ketika di Kupang beberapa waktu lalu, saya sering melihat sebuah kaos warna putih atau hitam dengan tulisan Timor Merdeka....

***

Pakaian senantiasa punya makna politik, dari kebaya Solo hingga peci Acheh, dari sarung Ende Lio hingga batik Melayu, dari safari ala Jenderal Soeharto hingga jas necis ala Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya punya makna politik. Marshall MacLuhan mengatakan the medium is the message. Medium itu sendiri adalah pesannya.

Kaos anarkis juga pernah saya lihat di Jakarta. Suatu siang di daerah Pramuka, ada lelaki pakai kaos dengan font besar PKI --tapi jauh lebih kecil di bawahnya tertulis, Pecinta Kaos Indonesia. He he he. Bukan Partai Komunis Indonesia yang selama 40 tahun lebih dijadikan hantu dan kambing hitam dalam politik nasional Jawa.

***

Baca selengkapnya disini!

Thursday, August 10, 2006

Air Cond.


Paul berdiri di depan ruang kerjanya. Kepalanya dicondongkan sedikit, agar bisa melihat jelas isi ruangan bekas gudang itu. Dia menatap ruang kerjanya sesaat; sedikit menunduk, mengambil rokok menyala yang di taruh di vas keramik tanah di samping kanan pintu keluar ruangan kerjanya itu, menghisapnya sedikit dan menaruhnya kembali

***

Vas keramik tanah itu sejak kemarin ditaruhnya diluar. Semenjak ada peraturan baru: No Smoking Environment, diterapkan di kantornya. Staf senior kantor (yang pasti tidak merokok) menerapkan secara sepihak aturan itu.

Buat Paul; tidak merokok bukan masalah. Menghormati orang lain; yang tidak merokok misalnya; adalah tugas yang dilakukan sehari-hari. Di rumah, di jalan, di atas angkot, dimana saja. Yang membuatnya gundah adalah; sebentar lagi ruang kerjanya akan dipasangi AC. Dia yakin; ini salah satu strategi agar dia dan teman-teman kerja lain; yang suka nongkrong; bercerita tentang kerja, ketidakdilan kantor, berdiskusi tentang apa saja (dan sambil merokok) di ruangannya pas istirahat makan siang, tidak lagi melakukan ritual itu.

***

Paul pindah ke ruangan bekas gudang ini 3 bulan yang lalu. Setelah ada pimpinan yang baru terpilih di kantornya; dan bersama dia menempati kantor lamanya; di ruangan atas, dan kemudian ada pertanyaan: Siapa yang mau pindah ke bawah?, Akhirnya Paul yang mengalah; karena tak mungkin dia membiarkan vice director kantornya menempati ruangan bawah tanah ini.

Ruangan seluas seperempat lapangan bola voly itu akhirnya menjadi tempatnya bekerja. Teman-teman kerja yang lain; juga memilih untuk menjadikan ruang kerjanya menjadi tempat kerja mereka. Kebetulan ada komputer bekas yang diperbaiki dan di taruh di ruangan-nya. Charles; driver kantor, kemarin belajar mengetik disitu. Di atas; jika teman-teman dari lapangan datang; mereka dilarang duduk di ruang tunggu, dekat sekretaris. Mereka bilang itu mengganggu!, ributlah, dan alasan-alasan lain - yang terkesan berlebihan – yang membuat mereka tidak betah. Jadilah ruangan kerja Paul menjadi benteng terakhir mereka kalau datang ke Kupang.

***
Paul hari ini sendiri. Teman-teman yang lain sudah kembali ke Atambua dan Betun. Dia masih berdiri di pintu ruang kerjanya. Membayangkan kalau kotak pendingin segi empat itu sudah terpasang kusen jendela; di samping kiri kepalanya. Dia takut. Karena itu berarti pintu kamar kerja harus selalu tertutup, no smoking, no chatting. Memang kotak itu bisa membuat udara ruang kerjanya menjadi sejuk; mengalahkan udara Kupang yang makin hari makin panas. But, selama ini tidak ada teman yang mengeluh..

Pasang,.. tidak pasang. Pasang,.. tidak pasang. Dia harus memberikan jawaban hari ini ke bagian administrasi. Di kantornya; hanya ruangan Paul saja yang belum terpasang air cond. Benar-benar benteng terakhir, the last resort! Hari ini; Paul harus berpikir keras; mencari alasan agar air con itu tidak dipasang di kantornya. Harus! Paul tidak akan menyerahkan benteng terakhirnya begitu saja!