| hitaM Putih |

hanya beberapa catatan...

Tuesday, December 20, 2005

Sore itu…Saya reporter atau Relawan pendamping?

Satu Catatan refleksi..

Oleh : Alfred W. Djami

***

Tulisan ini terinspirasi setelah saya menyelesaikan tugas wawancara di Dusun Weraihenek Desa Kabuna kabupaten Belu 15/12 sore.

***

Waktu itu sementara hujan. Lokasi ini adalah lokasi dampingan saya, sehingga informasi tentang komunitas ditempat itu sedikit banyaknya saya kuasai. Anehnya saya diberi tugas oleh Pemred (pemimpin redaksi) yang juga ketua divisi untuk melakukan wawancara untuk rubrik Liputan Utama “Lorosae Lian”.

Point Refleksi dari tulisan ini pasti sederhana buat anda yang mempunyai banyak pengalaman, tapi buat saya, ini membingungkan. Bagaimana kita menempatkan diri sebagai orang yang merasa sudah tau tetapi diharuskan untuk mencari tau lagi.

Saya mengalami kesulitan dalam melakukan wawancara. Mungkin ini keluhan. 2 hal yang menyebabkan hal itu terjadi adalah pertama; pertanyaan di dalam TOR mengharuskan Nara Sumber untuk terbuka akan komitmen komunitas untuk melakukan tindak lanjut bagi pemenuhan pemenuhan kebutuhan secara mandiri. Pertanyaan ini - menurut saya, yang juga sebagai relawan pendamping- adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh komunitas. Karena bisa saja sudah ada “ketergantungan” terhadap pendamping; dalam hal mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan dasar komunitas.

Seperti pernah yang saya dengar ketika melakukan pendampingan kepengurusan tanah beberapa waktu lalu, seorang bapak berkata “Kami disini percaya di adik sa…” kalimat ini mungkin bukan hanya saya saja pernah dengar, relawan yang lain juga. Bagi saya; ada beberapa makna dari kalimat tersebut. Mungkin ini salah satu bukti penerimaan komunitas terhadap pendamping!. Saya tersanjung kalau memang kondisinya begitu.

Tetapi mungkin juga masyarakat selalu menganggap kita adalah si penghasil “solusi”, sehingga masalah apapun kecil atau besar, private atau umum yang berhubungan dengan mereka, maka untuk pencarian solusinya hanya dengan menunggu si pembawa solusi untuk menyelesaikannya. Mereka tidak kreatif lagi. Tidak menjadi aktor terhadap permasalahan mereka.

Singkatnya, bisa saja kepercayaan diri didalam tubuh komunitas in gone ketika orang yang selama ini diharapkan banyak memberikan jawaban berubah menjadi seorang yang bertanya banyak”. Ya Tuhan…jangan sampai itu terjadi.

Kedua; Kesulitan itu ada kerena keterbatasan dalam mengkomunikasikan point-point TOR menjadi sederhana dan mudah dimengerti oleh nara sumber. “Saya (reporter-red) yang tidak mampu membahasakan point pertanyaan yang ada didalam TOR menjadi sederhana dan mudah dimengerti. Jika memang begitu, mungkin hal pertama yang harus saya lakukan adalah seperti yang diungkapkan oleh Pemred saya, bahwa kita jika ada dalam posisi reporter maka tempatkanlah diri anda sebagai penonton yang mempunyai keinginan dalam menguasai ini cerita dan membagi kepada orang lain. Bukan menjadi aktor yang ditonton”.

***

Yang masih menjadi tanda tanya besar dikepala saya adalah “Dimana posisi saya saat itu, Penonton atau yang ditonton ?” Ukhhh…. saya menjadi semakin bingung…

…to be countinued…