Seperti Anak Kecil yang Baru Saja Memecahkan Gelas
Bayangkan,.. dalam 3 minggu terakhir ini saya “berhasil diikutkan” dalam 4 kali pesta kawinan teman-teman saya. “Berhasil diikutkan” karena teman-teman saya tahu, saya tidak terlalu pede kalo ke pesta (apalagi resepsi pernikahan!). Kalo mereka tahu saya “berhasil” mendapat undangan pesta; terus mengiyakan permintaan mereka dari telepon genggam; untuk bersedia datang dalam pesta mereka –walau dengan nada bicara seperti anak kecil yang baru saja memecahkan gelas - , mereka tersenyum kemenangan!..
***
Teman Saya: “Janji ya, nanti datang.. Tidak lama kok,..”
Saya : “Iya..iya. Saya pasti datang.” (kalo sudah sampai disini,.. saya benar-benar seperti anak kecil yang dimarahi karena baru saja memecahkan gelas)
Teman Saya : “Nanti saya ajarin dansa deh.., Mau yang mana? Waltz, tango, dua – satu, terserah deh... Yang penting datang ya, please..” (Suaranya terdengar sedih sekali)
Saya : “Iya..iya.” (kalo sudah sampai disini,.. saya seperti anak kecil yang membersihkan pecahan gelas yang baru saja saya pecahkan)
Teman Saya : Janji ya,.. promise is hutang, Dan. He..he”
Dari suaranya; saya bisa membayangkan teman saya itu tersenyum senang (dan menang!).
***
Seandainya teman saya - yang baru saja menelepon- bukan teman akrab, yang sudah bela-belain mencari tahu keberadaan saya dan akhirnya berhasil menelepon saya itu ada tepat didepan saya, pasti akan saya lempar dia dengan sandal! J
***
Bukan soal bisa dansa atau tidak bisa dansa, kawan. Saya bisa kok dansa, walau dengan gaya yang seadanya. Atau soal keramaian pesta atau - lebih sedap saya sebut dengan : hiruk pikuk -, atau kemeja apa yang harus saya pakai (I hate kemeja, suer!). Tapi saya selalu setengah depresi setiap datang ke resepsi pernikahan,..
Soalnya bukan saya tidak bahagia melihat mereka menikah, bekas sepasang kekasih; yang pria dengan jas lengkap dan perempuan dengan gaun pengantin yang berekor panjang. Bukan..
Bagi saya; soalnya muncul beberapa bulan sebelum itu. Teman saya yang satu, harus ketar-ketir dan (saya kira) hampir gila karena gak tahu harus ambil uang darimana untuk membayar belis (Mas Kawin)nya yang jumlahnya bisa dia gunakan untuk membangun rumah tipe 24. Teman saya yang lain berterus terang kalo menghabiskan puluhan juta rupiah untuk mengadakan pesta di hotel ternama. Dan tetek bengek urusan adat, tradisi dan seremoni. Sampai pada perponcloan pada saat resepsi pernikahan :
“Sodara-sodara, Kue pengantin ini terbuat dari dua kilo tepung “cinta”, sekian butir telur “kasih sayang”… ( dan seterusnya.. )
Atau :
“Pengantin pria,.. pada saat pertama kali bertemu; apa sih yang kamu suka dari pengantin wanita?” (Ya.. amplop!)
Ini lagi :
“Sekarang; coba pengantin pria dan wanita memperagakan didepan para hadirin semua bagaimana kalian saling mengatakan cinta pertama kali “.. (gosh…)
Minta maaf. Hal-hal tersebut diatas (cieeehhh..) itulah yang sering membuat saya setengah depresi dan tidak betah berlama-lama disetiap resepsi pernikahan. Mungkin karena saya merasa; kebiasaan dan hal-hal yang didramatisir seperti itu menghilangkan substansi dari resepsi pernikahan itu sendiri.
Saya ingin acara pernikahan saya nantinya sederhana saja, yang penting sah secara agama dan hukum. Itu saja. Pestanya juga sederhana; cukup di samping rumah, rame-rame makan singkong rebus, kopi dan teh. Dan karena tak mungkin saya mengundang “Cozy Street Corner” untuk manggung di pesta sederhana saya, musiknya pakai tarian-tarian tradisional. Itu saja. Teman-teman dan kerabat yang datang pun akan dipersilahkan menggunakan baju seadanya, - yang penting jangan datang telanjang, awas lu! -. Biar tidak perlu malu-malu karena pakaian “kebangsaan” mereka -yaitu : kaos oblong + jeans belel- dan memilih duduk dibelakang atau memilih makan paling terakhir ketika semua tamu yang “berbaju bagus” sudah pulang..
Atau semua ini bisa juga karena saya iri. Katanya, Teman saya yang terakhir, yang mengundang saya via telepon itu; menghabiskan puluhan juta hanya untuk resepsi pernikahan mereka. Belum untuk Belis, cincin kawin (emang kalo mau kawin harus pake cincin ya?), uang “air susu”, uang “terima kasih” buat keluarga mempelai perempuan, dan lain-lain. Bagi saya; untuk jumlah uang sebanyak itu; dengan pekerjaan saya yang sekarang ini, saya butuh minimal 10 tahun untuk rela menabung semua gaji saya. Kalo saya mengingat hal ini; saya setengah depresi.Seperti anak kecil yang dimarahai karena baru saja memecahkan gelas.
***
To Ellen, Dae, Acheng, John dan Erik : Congratulations; Happy Wedding day! and have a nice and exciting honey moon, ya.. : -). Kapan kita dansa lagi?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home