Rampok Betun
Pagi subuh baru saja tiba. Batang Surya dibibirnya tinggal setengah. Dihisapnya sekali lagi,.. kali ini lebih dalam, sampai kedua pipinya berlesung. Menahan asap bernikotin itu sebentar didalam paru; dan membiarkan racun itu meresap; memberi sensasi seperti terbang. Lalu dihempas perlahan keluar dari hidung dan mulut, sementara jari telunjuk dan jari tengahnya tetap menjepit batang rokok yang menempel di bibir hitam kusam.
***
“Om Dan,.. mereka sekarang susah. Kondisi sekarang sudah makin sulit!,”
Dia berucap tegas, sambil menggelengkan kepalanya. Dahinya berkerut, mempertegas sesuatu yang menurut saya sudah tegas,..
“Kasus yang kemarin,.. yang 3 kali itu!, Yang terakhir; kan terjadi di persimpangan Nurobo!.” Katanya setengah berteriak, dengan mata sedikit mendelik.
Dia memperbaiki duduknya dengan cepat, dari tiduran menjadi bersila. Bantal yang di pakainya untuk menopang lengannya sekarang diangkat, ditaruh di paha. Mimiknya semakin serius,..
“Trus yang di Kereana bulan kemarin; pembunuhan di kebun…” kali ini dia sedikit berbisik..
Saya hanya bisa diam.
***
Dia, hari ini kelihatan cemas. Dia bergabung dengan kantor tempat saya bekerja sejak 3 tahun yang lalu. Dia -seperti biasanya- selalu menjadi teman bercerita, bermain kartu remi atau menjadi teman minum; ketika saya memilih tidur di kantor. Namun saya tak pernah tahu latar belakang Dia. Sampai malam ini.
Dia masih terlihat cemas dan masih belum selesai bercerita tentang teman seperjuangannya dulu. Kopi panas dan berasap, singkong dingin di piring plastik biru dan beberapa batang filter tergeletak disebelah kanan tikar daun: “sleeping bag” kita malam ini.
“Om Dan,.. Dulu tidak ada yang bisa tahan kami!. Kami mau apa saja tinggal ambil. Lubang angin saja kami bisa masuk,.. mau buat apa saja terserah.Kami punya ilmu bikin mereka tidak sadar. Kami bisa tidur dengan istri orang tanpa orang itu sadar. Mau apa lagi.” Dia berbisik, sedikit tersnyum.
Diambilnya kopi dan diseruput sedikit.
“Tidak ada yang bisa tahan!. Soalnya; kalau kami ngantor; kami tidak pergi kosong. Pasti mesti diisi dulu” jelas dia; sambil tangannya menjepit sudut bantal. “Ngantor” itu istilah yang dipakai kelompok dia saat mereka merampok.
“Tapi saya sekarang sudah tidak lagi. Dulu kami ada 12 orang, semua yang kepala angin sudah berhenti. Ada yang sudah kerja, seperti saya. Ada yang sudah masuk gereja.” Kali ini dia berbisik tertunduk. Dia diam sebentar dan matanya menerawang. “Saya memilih berhenti sejak saya punya istri, dan saya diajak jadi penjaga kantor disini. Kalau tidak.. “.
“Terus terang saja, Om Dan. Dulu kalau saya ribut disini;” jari telunjuk nya digerakan melingkar didepan wajahnya. “Tidak ada yang berani tegur. Semua takut. Pos tentara didekat kantor camat itu pernah kami serang. Tanya saja” dia geram.
***
“Sejak beberapa dari kami berhenti, mereka susah. Kemarin saya ketemu salah satu dari mereka. Dia cerita banyak. Om Dan; saya tahu siapa yang bikin kasus pembunuhan di Kereana kemarin” katanya masih dengan berbisik. Tatapannya tajam, mimiknya sangat serius.
“Om Dan,.. Hanya dengan lima ratus ribu saja untuk satu nyawa! Mereka mau!”
Saya hanya bisa diam. Malam ini terus sepi, seperti kemarin.
Betun, 21 Sep 2005.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home