Di Semau
Di Semau; orang menjaga air seperti emas. Apalagi ketika matahari Oktober – November terasa dekat sekali dengan bumi. Terik dan perlahan mengeringkan air di hampir semua sumur di Semau. Di pulau yang berpenduduk tidak lebih dari 4000 jiwa ini, air menjadi barang mustika. Dia dicari, ditengarai dan dijaga.
Di setiap sumur masyarakat Semau yang saya dan teman-teman datangi, selalu memiliki “kearifan lokal” sendiri untuk menjaga air itu. Mulai dari pembatasan jumlah air yang boleh diambil untuk masing-masing keluarga, sampai denda dan sanksi “adat”. 2 babi dan 12 ayam berbulu merah bagi yang berani mengotori air sumur. Bahkan ada keluarga khusus yang diminta menjadi “penjaga sumur tertentu” – biasanya adalah keluarga yang tinggal paling dekat dengan sumur - , menjaga sumur bahkan dilakukan setiap hari; “twenty-four seven”.
Bagi saya, Pulau Semau - diantara terik dan kering alamnya- selalu menyimpan keunikan tersendiri. Banyak teman yang sering tak mengerti, kenapa saya kerasan untuk melewatkan hampir setiap hari libur saya di pulau kecil ini. Dan kemarin, saya kembali lagi ke Semau.
Semau sama sekali tak seindah Kuta. Dia biasa saja. Tidak ada cottage atau hotel murah, tidak ada travel agent dan ATM, tidak ada telepon, tidak ada listrik, tidak ada jet-ski atau para-sailing, tidak ada kios apalagi shopping mall. Tidak ada toilet, air bersih sulit. Bagi teman-teman yang lain, Semau bukan tempat yang nyaman untuk plesir. Terik dan terlalu jauh dari peradaban. Tapi bukan buat saya dan beberapa teman yang lain. Mungkin juga karena “jauh dari peradaban” itu yang membuat Semau menjadi tempat istirahat yang unik dan nyaman (sekali!).
Paling tidak; di Semau, saya dan teman – teman belajar untuk bertahan apa adanya. Melatih self-control kami, agar tahan menghadapi situasi sesulit apapun. Mencoba survive 2 sampai 3 hari di Semau, dengan “apa yang bisa kami bawa” dalam ransel atau tas kresek, yang biasanya tidak pernah lengkap, selalu ada barang terlupa. Karena selalu saja, ide untuk kembali ke Semau datang tanpa rencana.
Mulai dari tidur malam tanpa alas apapun (damn!; the sky is so amazing!), memasak nasi dengan kaos oblong dan air laut, membuat garam sendiri, mencoba segala jenis binatang yang kami temui di pinggir pantai sebagai umpan memancing untuk makan siang, berjalan dari satu sumur ke sumur yang lain mencari air, mencoba setiap batang kayu dengan tembakau lokal karena kehabisan rokok, bernyanyi berteriak keras sepuasnya mengelilingi api unggun, atau menyanyi merdu “Dendang bersahut”-nya Cozy Street Corner sambil menatap sunrise…, saat subuh menenggak “New Port” atau miras lokal sampai setengah mabuk dan dilanjutkan dengan.... curhat!…:-)
***
Di Semau; kami merasa lepas, bebas. Saya menikmati setiap detik keberadaan saya disana. Menikmati setengah jam diterjang badai dan ombak dengan perahu dari Tenau ke pelabuhan tradisional Semau…, menikmati bertelepon malam-malam dengan orang-orang yang saya cintai – walau harus memanjat pohon bakau agar bisa dapat sinyal! - …, menikmati makian yang keluar karena umpan saya termakan habis oleh ikan…, memancing ditengah terik siang sampai (benar-benar) hitam legam…, menikmati bersampan sendirian.., menikmati setiap kebersamaan…, kesunyian dan keheningan pagi-subuh di Semau. Saya merasa tentram!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home