| hitaM Putih |

hanya beberapa catatan...

Sunday, September 21, 2008

Sedia Payung Sebelum Bencana


tentang penanganan bencana berbasis masyarakat

Masyarakat selalu yang merasakan dampak paling besar ketika terjadi bencana. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini; terbukti bahwa pola pendekatan manajemen bencana “konvensional” gagal untuk menjawab kebutuhan spesifik komunitas-komunitas yang rentan terhadap bencana. Mengembalikan akses dan kontrol masyarakat yang terkena bencana untuk menanggulangi bencana kemudian menjadi konsep alternatif.

***

“Salah satu cara menghindari Tsunami adalah dengan mengenali gejalanya; surutnya permukaan air laut secara tiba-tiba adalah salah satu gejala bakal terjadi tsunami. Dilaporkan sebelumnya, bahwa pada tanggal 24 Desember 2004, sebagian daerah pantai barat Sri Lanka mengalami gejala ini. Bahkan surutnya air mencapai 1 sampai 2 km. namun karena ketidak tahuan mereka; masyarakat bahkan terheran-heran akan kejadian surutnya air laut ini dan malah turun ke dasar laut yang sudah surut itu. Tak ada yang sadar akan bahaya yang sementara mendekat. Ketika gelombang besar datang; mereka bukan berada di pinggir pantai; berpegangan pada pepohonan atau lari menyelamatkan diri; melainkan mereka tepat berada di dasar laut. Kebanyakan dari 40.000 orang yang meninggal pada saat itu adalah mereka yang sementara menikmati - kejadian aneh- surutnya air laut ini. Kebanyakan dari mereka, mayatnya tidak ditemukan lagi! Chanuka Wattegama; dalam tulisannya yang berjudul: “Tak ada yang memberitahu kami untuk lari! / Nobody told us to run!” menggambarkan tragedi menyedihkan ini. Andai saja masyarakat di sekitar pantai barat Sri Lanka lebih tahu tentang gejala tsunami.

Sayang, sungguh sayang. Ketika tsunami menyerang asia pasifik Desember 2004; skenario sedih seperti ini tidak hanya terjadi di pantai barat Sri Lanka. Ini juga percis terjadi di India, Indonesia dan Thailand. Di tiga negara ini; tsunami menghantam masyarakat di daerah pantai dengan terkejut.


***

Masyarakat selalu yang merasakan dampak paling besar ketika terjadi bencana. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini; terbukti bahwa pola pendekatan manajemen bencana “konvensional” gagal untuk menjawab kebutuhan spesifik komunitas-komunitas yang rentan terhadap bencana; kondisi rentan komunitas akan diperparah ketika pendekatan seperti ini seringkali tidak menghiraukan kapasitas dan sumber daya lokal.

Pandangan Konvensional
Hal ini disebabkan karena beberapa hal. Pendekatan konvensional melihat bencana sebagai sebuah kejadian yang terisolasi; yang terjadi begitu saja sebagai bentuk dari penyimpangan dari praktek pembangunan. Keterkaitan bencana itu sendiri terhadap kondisi dan konstruksi sosial di masyarakat tak dilihat sebagai faktor penting dari bencana.

Pandangan model ini juga merasa bahwa solusi dari sebuah bencana - atau pilihan cara mencegah bencana - adalah dengan sedapat mungkin menyiapkan teknologi yang bisa menghindari atau tahan terhadap kejadian bencana.

Selain itu; dominasi “pusat” – itu bisa berarti pemerintah pusat; atau petinggi LSM - dalam pengambilan keputusan terhadap strategi penanganan bencana cenderung diturunkan dari pengambil keputusan di tingkat atas; terus di turunkan ke masyarakat yang terkena bencana. From “top” to “down”. Masyarakat yang mengalami secara langsung bencana diperlakukan sebagai “korban” yang butuh ditolong dan pasif.

Intervensi selalu dilakukan setelah bencana terjadi. Tujuan melakukan intervensi adalah melakukan semaksimal mungkin agar masyarakat yang terkena dampak bisa kembali “normal” seperti masa sebelum bencana. Dengan berjalan nya waktu; model pendekatan “top-down” ini perlahan disadari ternyata memperbesar tingkat kerentanan komunitas.

Sebagai respon dari kelemahan dari metode “top-down” ini; selama dekade tahun 1980 dan 1990 an, model penanganan bencana berbasis komunitas kemudian muncul sebagai alternatif pendekatan baru3 yang dipelopori oleh lembaga swadaya masyarakat, agen PBB dan masyarakat internasional yang peduli terhadap bencana yang terjadi pada era 1990 an.

Model Alternatif
Kegelisahan untuk menemukan sebuah konsep yang lebih baik untuk menjawab kebutuhan komunitas yang terkena bencana, didasari oleh beberapa hal. Tentu, selain untuk menjawab kelemahan dari model konvensional; juga karena disadari model konvensional meniadakan akses dan kontrol – terutama oleh komunitas yang menerima dampak bencana – terhadap sistim pengurangan resiko yg dibangun; padahal tidak ada yang lebih memahami masalah bencana ditingkat komunitas selain komunitas yang mengalami bencana itu sendiri.

Dengan mengembalikan kontrol terhadap pengurangan resiko dan penanggulangan bencana kepada komunitas; maka skenario menghadapi kondisi bencana bisa secara maksimal beradaptasi dengan kondisi komunitas, karena komunitas tentu memliki kesempatan untuk mengetahui tantangan, ancaman, hambatan dan kekuatan lokal yang dimiliki.

Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM)
Konsep Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat atau PBBM (Community Based Disaster Risk Management/CBDRM) dikembangkan untuk menjawab kebutuhan untuk mengembalikan akses dan kontrol masyarakat yang terkena bencana; sebagai jalan utama untuk mengurangi hilangnya jiwa manusia karena bencana.

Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (Asian Disaster Preparedness Center / ADPC) kemudian mendefinisikan PBBM sebagai suatu proses pengelolaan resiko bencana dimana masyarakat yang menghadapi resiko secara aktif terlibat dalam identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan, dan evaluasi resiko bencana untuk mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan kapasitas mereka.

Ini berarti bahwa; masyarakat merupakan pusat pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktivitas pengelolaan resiko bencana. Keterlibatan mereka yang paling rentan adalah sangat penting dan dukungan dari yang paling tidak rentan adalah perlu. Dalam PBBM, pemerintah setempat dan tingkat nasional terlibat dan mendukung. Terdapat beberapa definisi dengan prinsip yang sama tentang PBBM, namun semuanya memuat aspek utama yaitu keterlibatan aktif komunitas beresiko dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, sebagai ciri yang paling berbeda dengan model pendekatan yang lain.

Tidak ada yang lebih memahami kondisi bencana selain komunitas dimana bencana itu terjadi. Konsep PBBM difokuskan untuk semaksimal mungkin mengurangi resiko bencana dengan cara mengurangi kerentanan komunitas terhadap bencana dan meningkatkan kapasitas komunitas (termasuk didalamnya individu dan rumah tangga dalam komunitas) dalam menghadapi dampak merusak dari bencana.

Partisipasi Maksimal
Letak kekuatan PBBM sudah tentu berada pada ruang yang cukup luas bagi seluruh komponen yang ada dalam komunitas untuk turut berpartisipasi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada komunitas.

Yang paling mencolok berbeda dengan pendekatan penanganan bencana konvensional adalah; komunitas dan kelompok paling rentan adalah aktor utama dan memegang pernanan kunci dalam perencanaan dan proses seterusnya. Masyarakat (komunitas) tidak lagi sekedar sebagai “korban” yang perlu dibantu.

PBBM pun tidak serta merta meniadakan keterlibatan pihak luar komunitas. Sebagai sebuah fungsi kerja yang terkait dan melibatkan banyak sektor, sudah tentu keterlibatan pihak luar komunitas; lembaga pemerintah, pemerintah pusat, dan juga termasuk di dalamnya LSM, dalam integrasi perencanaan aksi sebagai hasil dari PBBM. Pihak luar (LSM, misalnya) berperan mendukung dan mengambil peran fasilitasi seperti membantu melakukan analisis situasi, mengukur tingkat perencanaan dan implementasi. Model strategi pendekatan “top down” hanya diijinkan dalam penegakan aturan dan hukum saja.

Dengan terlibat semaksimal mungkin, komponen dalam komunitas (perempuan, laki-laki dan kelompok/individu yang paling rentan), maka diagnosa akar masalah bencana ditentukan secara tepat. Pilihan strategi penanggulangan dan pemulihan akibat bencana bisa dilakukan secara tepat. Eksistensi kelembagaan di komunitas yang dimandatkan untuk penanganan bencana mengandaikan respon yang cepat/tepat pada masa darurat. Metode PBBM memang disengaja agar melibatkan sebanyak mungkin anggota dan unsur komunitas, sehingga pada akhirnya PBBM itu sendiri meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap aktifitas PBBM yang direncanakan; yang sudah tentu berbanding lurus dengan keberlanjutan dan partisipasi masyarakat ketika rencana-rencana tersebut dijalankan.

Mengurangi Resiko, Meningkatkan Kapasitas
Target utama dari pola PBBM adalah melakukan pengurangan semaksimal mungkin kerentanan masyarakat terhadap bencana, mengelola ancaman yang ada, peningkatan kapasitas masyarakat dalam memonitor, adaptasi, respon, mempersiapkan kondisi sebelum bencana, melakukan peringatan dini, dan keterlibatan penuh masyarakat (atau keterwakilannya) dalam seluruh aspek perencanaan bencana.

Model PBBM juga meletakan komunitas sebagai sumber daya utama dari pengetahuan dan keahlian; bahkan semaksimal mungkin untuk mengelola pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang sudah terbukti turun-temurun. PBBM; karena diletakan pada dasar pengalaman komunitas terhadap bencana, secara langsung mengaitkan unsur ekologi kedalam model pengurangan resiko dan penanganan bencana.

***

Kejadian bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 lalu, seperti mengingatkan kita akan perlunya sebuah konsep kesiapsiagaan yang dapat menyentuh masyarakat paling rentan di daerah beresiko. Karena bencana masih akan ada.

Sejak dicetuskan ide ini; model PBBM kemudian mulai di kembangkan sebagai alternatif solusi kesiapsiagaan bencana sejak era 90-an. Bahkan; sebuah pertemuan dunia dilakukan di Jepang7; untuk membahas khusus tentang pengurangan resiko bencana ini. PBBM kemudian menyebar; dan disepakati oleh banyak lembaga dan negara sebagai salah satu pola kesiapsiagaan yang dipakai oleh hampir semua lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Dengan harapan; nanti ketika gelombang besar datang lagi, ada yang memberitahukan masyarakat untuk lari! Dan kisah sedih di pantai barat Sri Lanka tak terulang lagi!.


Sumber-sumber:
* Community-based disaster risk management; Experience gained in Central America,. GTZ, 2003.
* Communicating Disaster: An Asia Pacific Resource Book, 2007
* CBDRM Manual and Resource Pack, Oxfam, 2002
* TOT CBDRM HIVOS, Aceh Program, 11 Juni 2007
* Participatory Capacities and Vulnerabilities Assessment: Finding the Link Between Disasters and Development, Oxfam, 2003.
* IDEP CBDM Kit, IDEP Foundation, 2007
* Building Disaster Resilient Communities Good Practices and Lessons Learned : A Publication of the “Global Network of NGOs” for Disaster Risk Reduction, Geneva, June 2007
* Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters, International Strategy for Disaster Reduction, 2005

* Terima kasih buat mbak wahyu dan teman-teman di PIKUL yang telah membuat saya menulis lagi.. ^^